Setelah Singapura ‘Mengusir Tamunya’, Apakah Hong Kong Menjadi ‘Ibu Kota Ramah Crypto di Asia Timur’?

7 hari yang lalu
2 menit baca
2 tampilan

Kepemilikan Pusat Crypto Asia

Belakangan ini, perbincangan tentang kepemilikan Pusat Crypto Asia kembali mengemuka. Pada 30 Mei, Otoritas Moneter Singapura (MAS) secara mendadak mengenalkan regulasi Web3 baru dengan sikap nol toleransi, yang mengguncang seluruh ekosistem crypto di Asia Tenggara. Kemudian, pada 4 Juni, anggota Dewan Legislatif Hong Kong, Wu Jiezhuang, menyatakan di platform X bahwa mereka menyambut perusahaan Web3 dari Singapura untuk pindah ke Hong Kong. Mereka juga menawarkan kebijakan dan bantuan implementasi. Pernyataan ini bisa dianggap sebagai ajakan terbuka bagi industri sekaligus sebagai bagian dari penataan kembali lanskap Web3.

Web3 tidak pernah menjadi permainan yang eksklusif untuk satu wilayah saja, tetapi merupakan medan perang baru dalam kompetisi global di bidang keuangan dan teknologi. Singapura memperjelas batas-batasnya dan yurisdiksinya dalam lingkungan regulasi yang ketat, sementara Hong Kong mempercepat eksplorasi dengan pendekatan yang hati-hati. Lantas, di mana sebenarnya tempat yang aman untuk modal dan inovasi di tengah badai ini?

Regulasi Ketat di Singapura

Pada 30 Mei, MAS mengeluarkan regulasi DTSP baru yang mengharuskan semua institusi dan individu yang bergerak di bidang bisnis terkait token crypto untuk mendapatkan lisensi DTSP sebelum 30 Juni; jika tidak, mereka harus menghentikan operasionalnya. Regulasi ini mencakup platform perdagangan, penyedia layanan dompet, protokol DeFi, pasar NFT, dan bahkan KOL yang menerbitkan konten riset crypto.

Tiga fitur utama dari regulasi MAS dirangkum oleh industri sebagai:

  • Tanpa periode transisi (pelaksanaan segera, tanpa masa transisi);
  • Cakupan penuh (semua menjadi terobosan dalam pengawasan);
  • Nol toleransi (pelanggaran akan berujung pada denda atau sanksi pidana).

Satu aspek yang sangat kontroversial adalah perluasan definisi tempat usaha; bahkan jika seseorang bekerja dari rumah di Singapura dan melayani pengguna luar negeri, mereka dianggap berada dalam pengaturan tersebut, membuat banyak pengusaha merasa terjebak. Namun, pada 6 Juni, MAS menerbitkan klarifikasi tambahan untuk menyesuaikan ruang lingkup kebijakan dengan tujuan meredakan beberapa kesalahpahaman dan kepanikan di pasar.

Klarifikasi tersebut menunjukkan bahwa MAS berupaya untuk secara tepat menargetkan penyedia layanan asing yang dapat menghadapi risiko pencucian uang lintas batas, bukan sepenuhnya melarang industri Web3. Di sisi lain, ini juga mengirimkan sinyal yang jelas – setelah serangkaian guncangan reputasi seperti Three Arrows Capital, ledakan Hodlnaut, dan insiden FTX, pendekatan regulasi keuangan Singapura sedang bergeser dari eksperimen terbuka menuju pencegahan risiko secara proaktif.

Pendekatan Fleksibel di Hong Kong

Berbeda dengan regulasi yang ketat di Singapura, Hong Kong mempercepat penerapan Web3 melalui sistem kepatuhan yang lebih fleksibel. Sejak dirilisnya Pernyataan Kebijakan tentang Pengembangan Aset Virtual pada tahun 2022, Hong Kong secara bertahap menerapkan sistem inti, termasuk lisensi platform perdagangan aset virtual (VATP), regulasi stabilcoin, dan kepatuhan perdagangan OTC (over-the-counter), memberikan harapan yang jelas bagi pasar.

Menurut data dari Komisi Sekuritas dan Berjangka Hong Kong, hingga saat ini, sepuluh platform perdagangan aset virtual, termasuk OSL Digital Securities Limited, EXIO Limited, dan Hash Blockchain Limited, telah memperoleh lisensi dan memungkinkan investor ritel untuk berpartisipasi dalam transaksi.

Selain itu, Hong Kong tidak hanya berbicara di atas kertas tentang mendorong inovasi produk di berbagai sub-sektor, tetapi juga telah mengambil langkah nyata seperti ETF pasar uang tertokenisasi pertama di dunia yang baru saja diluncurkan. Upacara listing ETF Bosera HashKey diadakan di Bursa Saham Hong Kong. Pada 30 Mei, Pemerintah Daerah Khusus Hong Kong menerbitkan Undang-Undang Stabilcoin dalam Buletin, yang secara resmi menjadikannya sebagai hukum.

Kesimpulan

Pertikaian antara Hong Kong dan Singapura hanyalah cerminan kecil dari ekosistem Web3 Asia yang lebih luas. Fluktuasi regulasi, perbedaan kebijakan, dan evolusi ekosistem adalah manifestasi eksternal dari permainan antara modal dan kekuatan inovasi dalam era Web3. Dalam konteks ini, Singapura memilih untuk menetapkan aturan, sementara Hong Kong memilih untuk menarik perhatian.

Dalam jangka panjang, ini bukanlah pertarungan hitam-putih, melainkan penataan ulang pembagian kerja dalam ekosistem: Singapura dapat berkembang menjadi pusat manajemen aset yang patuh, sementara Hong Kong berfungsi sebagai daerah uji teknologi dan pusat modal Asia. Bagi para pengusaha, yang terpenting bukan sejauh mana satu kota lebih unggul dibandingkan yang lain, melainkan bagaimana menjaga persepsi yang akurat dan responsif terhadap arah kebijakan, skala regulasi, dan ruang pasar. Dunia Web3 berada dalam keadaan yang sangat dinamis, dan tempat yang aman mungkin tidak hanya ada di peta, tetapi juga dalam hati setiap tim yang membuat keputusan dengan bijak.

— Artikel membahas tentang dinamika regulasi di Singapura dan Hong Kong dalam konteks Web3 dan perkembangan di industri crypto.