Perusahaan Crypto yang Dihentikan Operasinya di Singapura Mungkin Tak Menemukan Perlindungan di Tempat Lain

1 minggu yang lalu
2 menit baca
4 tampilan

Pemberitahuan Baru Otoritas Moneter Singapura

Pada 30 Mei lalu, Otoritas Moneter Singapura (MAS) mengeluarkan perintah terbaru yang mengharuskan perusahaan crypto tanpa lisensi untuk berhenti melayani pelanggan luar negeri. Kebijakan ini menandai awal dari pengetatan regulasi di industri blockchain, yang sebelumnya dikenal sebagai celah regulasi. Meskipun beberapa pihak melihat langkah Singapura ini sebagai perubahan sikap terhadap industri yang sebelumnya dianggap ramah terhadap crypto, kenyataannya negara kota ini tetap berkomitmen pada kepatuhan regulasi.

Langkah tersebut sejalan dengan tren global yang bertujuan untuk mengejar pencucian uang dan pendanaan terorisme. Joshua Chu, seorang pengacara yang berbasis di Hong Kong dan ketua bersama asosiasi Web3 di kota tersebut, menyatakan,

“Bagi bursa yang terus mencari celah untuk menghindari persyaratan lisensi, kenyataannya jelas: Mereka akan segera terpaksa pindah ke tujuan populer mereka, bulan (moon).”

Singapura Sebagai Pusat Arbitrase Regulasi

Singapura telah lama menjadi pusat arbitrase regulasi untuk industri crypto, berkat Undang-Undang Layanan Pembayaran (PSA) yang mengharuskan perusahaan yang melayani klien lokal untuk memiliki lisensi. Dengan populasi domestik yang relatif kecil, banyak perusahaan crypto mencari cara untuk menghindari persyaratan itu dengan fokus pada pasar luar negeri.

Namun, keputusan terbaru MAS untuk mengusir perusahaan tanpa lisensi di bawah Undang-Undang Layanan dan Pasar Keuangan 2022 (FSMA) dibuat setelah penyelesaian konsultasi publik yang bertujuan untuk mempertegas posisi regulator di sektor ini. FSMA mengatur bahwa setiap bisnis di Singapura yang menawarkan layanan token digital kepada klien luar negeri wajib memiliki lisensi.

Pada saat yang sama, MAS menegaskan bahwa mereka tidak melakukan perubahan kebijakan, melainkan hanya menegaskan peraturan yang telah ada. Menurut Patrick Tan, penasihat umum di ChainArgos,

“Kita perlu mengingat bahwa Singapura adalah pusat keuangan global, bukan pusat crypto secara spesifik.”

Pergerakan Perusahaan Crypto

Dengan perusahaan crypto di Singapura semakin merasa tertekan, ada spekulasi mengenai yurisdiksi mana yang mungkin menjadi tempat yang lebih menarik bagi mereka. Perkembangan ini menunjukkan bahwa situasi di Singapura hanyalah bagian dari pergeseran regulasi yang lebih luas.

Misalnya, Filipina sekarang mewajibkan semua perusahaan crypto berlisensi untuk memiliki kantor fisik di negara tersebut, dan Thailand telah mengusir beberapa bursa karena pelanggaran lisensi dan pencucian uang, memberikan batas waktu bagi investor untuk memindahkan aset mereka. Hong Kong, sebagai rival regional Singapura, muncul dalam pertimbangan perusahaan crypto yang kehilangan sekutu regulasi mereka.

Beberapa bursa yang baru diusir dari Thailand, termasuk Bybit, sedang mempertimbangkan untuk mendapatkan lisensi di Hong Kong. Namun, Hong Kong sendiri tidak memberikan jaminan—hanya 10 lisensi crypto yang diterbitkan hingga saat ini.

Pergeseran Regulasi Global

Di tengah migrasi perusahaan crypto ke berbagai yurisdiksi, penting untuk dicatat bahwa banyak negara kini memberlakukan kerangka regulasi yang lebih ketat, termasuk Hong Kong, Uni Eropa, Jepang, dan Korea Selatan, yang semuanya mengikuti pedoman dari Financial Action Task Force (FATF). Singapura sendiri, sebagai anggota FATF, memperluas pengawasan regulasi terhadap penyedia layanan crypto, sejalan dengan mandat FATF terkait standar anti pencucian uang.

Dalam konteks ini, negara-negara yang baru saja keluar dari daftar abu-abu FATF, seperti Thailand dan Uni Emirat Arab, pun harus tetap berkomitmen menjaga kepatuhan untuk menghindari kembali terjerembap dalam situasi yang merugikan.

Kesimpulan

Singkatnya, era berpindah-pindah yurisdiksi untuk menghindari regulasi tampaknya telah berakhir. Saat perusahaan crypto mencari lokasi baru, opsi yang ramah terhadap mereka semakin berkurang, dan bahkan pusat yang paling terbuka pun kini menuntut kepatuhan yang lebih ketat.